Thursday, March 20, 2008

TAUSIAH ABINA IKHYA"ULUMIDDIN

Tuesday, September 11, 2007
Tausiyah 2 Multaqo VIII Abina Ihya' Ulumiddin
Anda Mengerti maka Harus Menetapi!

Dikisahkan bahwa Haritsah ra datang kepada Rosululloh Shollallohu 'alaihiwasallam. Lalu Rosululloh Shollallohu 'alaihiwasallam bertanya, "Bagaimana keadaanmu Haritsah?" Haritsah ra menjawab: "Saya dalam keadaan sebagai orang yang benar-benar beriman." Rosululloh Shollallohu 'alaihiwasallam bertanya, "Pikirkanlah apa yang kamu ucapkan karena sesungguhnya setiap ungkapan memiliki esensi lalu apakah esensi keimananmu?" Haritsah ra menjawab: "Saya memalingkan diri dari dunia. Lalu saya dahaga di siang hari dan berjaga di malam hari dan sungguh seakan saya melihat Arsy Tuhanku dengan jelas. Sungguh seakan saya bersama penduduk surga saling mengunjungi di surga dan penduduk neraka di neraka saling tolong menolong." Rosululloh Shollallohu 'alaihiwasallam lalu bersabda, "Kamu telah mengerti maka tetapilah!"

Haritsah lalu berangkat menuju medan perjuangan dalam rangka memuliakan kalimah Alloh dan membela Rosululloh Shollallohu 'alaihiwasallam lalu gugur di medan jihad, pengorbanan dan pembelaan. Ibunda Haritsah lalu datang kepada Rosululloh Shollallohu 'alaihiwasallam bertanya tentang tempat kembali Haritsah. Wanita tabah itupun bertanya, "Wahai Rosululloh, beritakanlah kepada saya akan Haritsah. Jika ia di neraka maka saya pasti menangis dan apabila ia di surga maka saya bersabar." Nabi Shollallohu 'alaihiwasallam bersabda, "Wahai ibunda Haritsah, sesungguhnya bukanlah hanya satu surga, tetapi surga-surga dan sesungguhnya puteramu mendapatkan Firdaus yang tinggi!" (Abuya as Sayyid Muhammad bin Alawi al Maliki. ad Da'wah al Ishlahiyyah/196).
Posted by m-anwar-z at 3:34 AM 0 comments

Tuesday, September 18, 2007
Puasa, Terapi Lemahnya Irodah dan Maksimalisasi Mauhibah
Alloh tabaroka wata’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.(yaitu) dalam beberapa hari yagn tertentu…” (Q.S. al Baqarah: 183-184).

Firman Alloh (…sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian), di sini ada tiga tujuan yang terkandung dalam ungkapan menyerupakan/tasybih (…sebagaimana…):

1. Memperhatikan serius (ihtimam) ibadah ini (puasa) karena keberadaannya yang telah disyariatkan Alloh sejak sebelum umat ini di mana hal tersebut memunculkan konsekwensi dilaksanakannya ibadah ini dengan baik, kesempurnaan pahalanya dan membangkitkan semangat umat ini untuk menyambutnya supaya ibadah ini tidak hanya menjadi keistimewaan umat-umat terdahulu. Alloh berfirman: “…dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba” (Q.S. al Muthofifin: 26).
2. Memberikan kemudahan (tahwiin) ibadah ini kepada orang-orang mukallaf (al mukallafin) agar mereka tidak merasa berat. Makna ini dikuatkan (tersiratkan) dalam firmanNya “…dalam beberapa hari tertentu.”
3. Mengobarkan semangat dan tekad bulat (azimah-azaim) untuk melakukan ibadah ini sehingga mereka tidak teledor menerimanya, tetapi sebaliknya mengambil ibadah ini dengan kekuatan melebihi apa yang telah dilakukan oleh umat-umat terdahulu.

Di sini ada sebuah contoh metode/uslub Alquran al Karim dalam memberikan terapi terhadap lemah irodah (yang menjangkiti) seorang muslim. Sebab sesungguhnya seorang muslim yang terbina semestinya mampu menghasilkan sebuah karya nyata sesuai bakat alamiah yang diberikan Alloh (mauhibah) dengan catatan mauhibah itu ia wujudkan dengan ikhlas, bersungguh-sungguh dan konsisten dalam rangka mendekat dan mencari ridho Alloh dengan satu keyakinan seperti difirmankan olehNya, “Dzat yang Menciptakan, dan menyempurnakan (penciptaanNya, Dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk.” Q.S. al A’laa: 2-3.

Terkait dengan ini, Sayyidina Ali ra mengatakan: “Nilai diri seseorang adalah profesionalitas yang ia miliki.” Maka nilai diri orang berilmu adalah ilmunya, sedikit atau banyak ilmu itu. Nilai diri seorang penyair adalah syairnyam baik atau jelek syair itu. Jadi nilai diri semua orang adalah Mauhibah atau aktivitas rutin (hirfah) yang ia miliki, bukan yang lain. Karena itulah seorang muslim hendaknya bersemangat kuat meninggikan nilainya dan menjadikan mahal harga dirinya dengan amal saleh serta tidak usah merasa resah betapun ia sedikit harta atau dalam keadaan susah (secara ekonomi).

Kegagalan manusia dalam menghasilkan sebuah karya nyata disebabkan oleh lemah kemauan (Dhu’ful Irodah) dan banyak mengeluh. Karena itu Alloh berfirman, “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan sholat dengan rutin (Daaimun). Q.S. al Ma’arij: 19-22. Alloh berfirman, “…dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Alloh. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Alloh, melainkan kaum yang kafir.” Q.S. Yusuf: 87 dan dikatakan, “Jika menyangka kemuliaan adalah kurma yang hanya kamu rasakan lezat memakannya. Kamu tidak sampai pada kemuliaan sehingga (terlebih dahulu) menjilat buah Jadam.(*)

Disampaikan oleh Abi Ihya' Ulumiddin pada Tausiyah XI Edisi 108, 2 September 2007, Sentra Dakwah Ketintang Surabaya.
Posted by m-anwar-z at 3:30 AM 0 comments

Tuesday, December 04, 2007
Wasiat Komplit
oleh | K.H.M. Ihya' Ulumiddin

Alloh subhanahu wata’ala berfirman:
“Hai orang – orang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga ( di perbatasan negerimu ) dan bertakwalah kepada Alloh supaya kamu beruntung “ QS Ali Imron : 200.

Alloh Menutup surat ini dengan beberapa pesan yang komplit kepada orang – orang yang beriman di mana jika mereka bisa melaksanakan pesan – pesan tersebut maka mereka menjadi yang paling berhak meraih keberuntungan dunia akhirat. Pesan yang dimaksud adalah seperti berikut:

A. Sabar,
yang menjadi sumber segala keutamaan dan aneka ragam kesempurnaan

B. Mushobaroh,
berusaha maksimal menahan semua hal yang tidak menyenangkan yang diterima dari orang lain. Masuk dalam kategori Mushobaroh ini adalah:
1) Tabah akan rasa sakit karena ulah keluarga dan tetangga.
2) Tidak membalas perlakuan buruk orang lain
3) Mendahulukan ( mengalah dari ) orang lain / Itsar
4) Memaafkan kezaliman orang lain
5) Menghadang, mencegah dan memberikan jawaban atas tindak pengkaburan para pendusta serta memberantas keragu – raguan yang mereka sebarkan.

C. Murobathoh,

Kata ini memiliki makna asli mengikat kuda untuk berjaga di benteng pertahanan. Meski begitu yang dimaksudkan adalah menyiapkan secara total seluruh potensi kekuatan yang kita miliki untuk menghadapi musuh Islam dengan berbagai macam sarana baik material ( Madiyyah ) atau non material ( Ruhiyyah ) secara sendiri atau bersama – sama.
Selain ini, Murobathoh juga memiliki arti lain seperti diriwayatkan oleh Imam Malik dalam al Muwattho’ dari Abu Hurairah ra bahwa Rosululloh shollallohu alaihi wasallam bersabda: [ “ Apakah aku akan menunjukkan kalian sesuatu yang karenanya Alloh menghapus dosa – dosa dan meninggikan derajat – derajat ?” “ Ia, wahai Rosululloh “ jawab para sahabat. Beliau lalu bersabda: “ Menyempurnakan wudhu dalam kondisi tidak menyenangkan, banyak langkah ke masjid, menanti sholat demi sholat. Itulah Ribath, itulah Ribath, itulah Ribath “ ]
Pertama ( menyempurnakan wudhu….) merupakan isyarat adanya peperangan dengan nafsu. Kedua ( banyak langkah….) sebagai isyarat adanya pengawasan ketat ( Muroqobah ) terhadap hati dan anggota tubuh. Ketiga ( menanti sholat… ) menjadi isyarat adanya penjagaan waktu serta mencari dan memanfaatkan kesempatan.

D. Taqwa,
Maksudnya adalah menjaga diri dari kebencian dan kemarahan Allah di mana hal ini tidak terwujud kecuali setelah mengenalNya dan mengetahui apa yang membuat ridho atau menyebabkanNya benci.

Semoga Alloh Memberikan TaufiqNya kepada kita untuk bisa melakukan aktivitas yang membuatNya ridho sehingga kita akan menggapai keberuntungan dunia akhirat dengan anugerah, kebaikan dan kemurahanNya. Washollallohu ala Sayyidinaa Muhammad wa ala alihi washohbihi wasallam.
Posted by m-anwar-z at 3:29 AM 0 comments
SILATURROHIM

Thursday, January 10, 2008
Silaturrahim
Tausiyah Bulan Januari 2008
oleh | Abi Ihya’ Ulumiddin
6 Januari 2008 - Sentra Dakwah Al Haromain Ketintang Surabaya

Islam begitu menghargai hubungan sanak famili (Rahim) yang mengikat manusia satu sama lain melalui hubungan nasab atau kerabat. Penghargaan ini tidak pernah dikenal oleh kemanusian dalam agama, aturan atau syariat apapun selain Islam. Islam mewasiatkan dan mendorong agar sanak famili disambung serta memberikan ancaman atas orang yang memutuskannnya. Allah berfirman, “Dan takutlah kalian kepada Allah yang dengan mempergunakan (namaNya) kamu saling meminta satu sama lain dan (peliharalah) hubungan silaturrahim.” Q.S. an-Nisa’: 1. Pertama Allah memerintahkan Taqwa dan selanjutnya menyebutkan Arham (jamak dari Rahim) untuk menegaskan akan keagungannya. Dalam perasaan muslim yang terbina, keunggulan dan posisi penting Rahim cukup dibuktikan dengan banyakknya ayat yang memerintahkan agar ia dijalin dan dibina secara baik selain Iman dan berbuat baik (Ihsan) kepada kedua orang tua (lihat Q.S. al-Isra’: 24, 26, dan an-Nisa’: 36) serta banyaknya hadits yang mendorong hal tersebut. Dari Abu Ayyub al Anshari ra: Seorang bertanya, “Wahai Rasulullah, berikan kabar kepada saya akan amal perbuatan yang bisa memasukkan saya ke dalam surga!” Nabi Saw. bersabda, “Kamu menyembah Allah dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apapun, mendirikan shalat, memberikan zakat dan menyambung sanak famili.” Muttafaq alaih. Hal tersebut dikuatkan oleh hadits panjang tentang dialig Abu Sufyan dan Heraclius. Heraclius bertanya, “Apa yang diperintahkan olehnya (Rasulullah Saw.) di antara kalian?” Abu Sufyan menjawab, “Dia mengatakan: “Sembahlah Allah yang Esa dan jangan menyekutukannya dengan apapun. Tinggalkanlah apa yang dikatakan para orang tua kalian.”” Abu Sufyan melanjutkan, “Dia juga memerintahkan kepada kami agar shalat, kejujuran, menjaga diri (Afaf) dan menyambung sanak famili” Muttafaq alaih. Jadi menyambung sanak famili berada bersama menyembah dan mengesakan Allah, mendirikan shalat, memberikan zakat, berpegang dengan Afaf dan kejujuran pada satu rangkaian dalam bilangan identitas pokok agama yang suci ini.

Sungguh Allah benar-benar mengagungkan urusan sanak famili ketika Dia menjadikannya sebagai bagian yang terkait erat dengan namaNya, Ar Rahman tak ubahnya seperti jaringan saraf-saraf. Dia begitu mengagungkannya sehingga menjadikannya dari penggalan namaNya “Aku Maha Pengasih (ar-Rahman) dan Aku Menciptakan Rahim dan mengeluarkannya dari namaKu, (karena itu) barang siapa menyambungnya maka Aku pasti menyambungnya dan barang siapa memutusnya maka Aku pun pasti memutusnya.” (Dikeluarkan oleh al Bukhari dalam al Adab al Mufrad). Nabi Saw. bersabda, “Sesungguhnya Rahim adalah bagian (cabang) dari Ar Rahman, ia berkata, “Ya Tuhanku sesungguhnya saya dizhalimi, Tuhanku sesungguhnya saya diputuskan…” Allah lalu menjawabnya, “Tidakkah kamu rela Aku memutus orang yang memutusmu dan Aku menyambung orang yang menyambungmu?” (Dikeluarkan oleh al Bukhari dalam al Adab al Mufrad). Di sini ada isyarat bagi muslim yang terbina bahwa orang yang menyambung diberikan kenikmatan dalam naungan rahmat dan sesungguhnya orang yang memutuskannya terhalang dari rahmat itu. Jika demikian berarti rahim bagi orang yang menyambung adalah berkah dalam rizki dan berkah dalam umur, menambah dan menjadikan hartanya berkembang serta memanjangkan umurnya. Nabi Saw. bersabda, “Barang siapa suka dilapangkan rizki dan dipanjangkan umurnya maka hendaknya ia menyambung sanak familinya.” Muttafaq alaih. “Pelajarilah dari nasab-nasab apa yang bisa kalian gunakan untuk menyambung sanak famili kalian, sebab menyambung sanak famili adalah kecintaan dalam keluarga, meningkatkan harta benda dan memanjangkan umur.” H.R. Turmudzi.

Rahim juga merupakan penghalang surga bagi orang yang memutusnya, ia adalah sumber malapateka dan bencana karena Rahmat tidak akan turun kepada suatu kaum yang di antara mereka ada orang yang memutuskan sanak famili sebagaimana ditegaskan dalam hadits, “Tidak masuk surga, orang yang memutuskan sanak famili.” Muttafaq alaih. “Sesungguhnya Rahmat tidak turun kepada suatu kaum yang di antara mereka ada orang yang memutuskan sanak famili.” H.R. Baihaqi.

Silaturrahim Dalam Makna Lebih Luas
Silaturrahim tidak hanya tumbuh dari prinsip zakat atau sedekah dalam arti luas berupa memberi harta atau non harta saja, tetapi silaturrahim juga bisa berupa kunjungan yang bisa menguatkan unsur-unsur kerabatan dan lebih luas lagi bisa terwujud dalam saling mengasihi, saling menasehati, saling memberi pertolongan, mendahulukan orang lain dan sikap obyektif. Ia juga bisa berupa ucapan yang baik, pertemuan yang menyenangkan, wajah sumringah penuh senyuman dan lain-lain dari aneka ragam kebaikan yang bisa melahirkan rasa cinta dalam hati, dan bahkan oleh Nabi Saw. ia diperintahkan dalam bentuk yang sangat sederhana dan sangat minim biaya dengan sabda Beliau, “Basahilah ikatan sanak famili kalian meski hanya dengan salam.” H.R. Bazzar. “Sedekah kepada orang miskin adalah sedekah dan kepada pemilik hubungan sanak famili adalah sedekah dan shilah (penyambung).” Nasai-Turmudzi.

Makna Lain Silaturrahim
1.Masuk dalam kategori Silaturrahim dalam makna spesifik (khossoh) adalah ikatan antara sesama manusia dalam ikatan ilmu seperti dikatakan Imam Syafii ra, “Ilmu adalah ikatan seperti ikatan nasab.” Jika Nabi Saw. bersabda,”al Wala’ (jasa memerdekakan) adalah ikatan seperti ikatan nasab yang tidak bisa dijual atau dihibahkan.” Maka tidak diragukan lagi keberadaan ilmu sebagai hal paling utama yang dimanfaatkan oleh manusia dari orang lain yang harus betul-betul dijaga haknya untuk disambung dan diikat lebih kokoh lebih kuat. Ini karena ilmu adalah sumber keberuntungan dunia dan akhirat. Sufyan bin Uyainah mengatakan, “Di dunia ini manusia tidak diberi sesuatu lebih utama melebihi Nubuwwah. Dan setelah Nubuwwah tidak ada yang lebih utama dari ilmu dan fiqh ditanyakan, “Tentang siapa ini? Sufyan menjawab, “ Semua ahli fiqh. Nabi Saw. bersabda, “ Ulama adalah pewaris para nabi. Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar atau dirham, tetapi mereka mewariskan ilmu. Maka barangsiapa mengambilnya berarti ia mengambil bagiannya yang sempurna.” Dikeluarkan al Bukhari dalam at Tarikh al Kabir.
2.Masuk dalam kategori silaturrahim dalam makna universal (aammah) adalah ikatan yang mengikat sesama manusia yang berupa ikatan iman yang menuntut haknya agar dijaga dalam rasa saling mencintai karena Allah di antara mereka seperti dalam firmanNya “Sesungguhnya orang-orang beriman itu saudara.” Q.S. al Hujurat: 1. dan sabda Rasulullah Saw.,” Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam memberikan kasih sayang adalah laksana tubuh yang jika ada satu anggota yang sakit maka seluruh tubuh ikut merasakan dengan tidak bisa tidur dan panas.” Muttafaq alaih. “Jangan saling memutuskan, jangan saling berpaling, jangan saling membenci dan jangan saling iri hati. Jadilahkalian bersaudara seperti Allah memerintahkan kepada kalian.” H.R. Muslim. “Tidak sempurna iman salah seorang kalian sebelum mencintai saudaranya seperti mencintai diri sendiri.” Muttafaq alaih. “Orang-orang yang berbelas kasih akan dikasihi oleh Dzat Maha Pengasih. Kasihanilah orang yang ada di bumi niscaya orang yang ada di langit mengasihi kalian.” H.R. Bukhari, Humaidi, Ahmad Baihaqi, Abu Dawud, Turmudzi Hakim.

Abuya, As Sayyid Muhammad bin Alawi al Maliki dalam bukunya At Thali’ As Said hal 13 mengatakan, sabda Nabi “Yarhamkum”, kami meriwayatkan dengan jazem sebagai jawaban dari perintah dan rafa’ (Yarhamukum) sebagai doa. Sementara Sayyid Amin Abidin juga meriwayatkan dengan Nashab (yarhamakum). Abuya melanjutkan, ini sangat dhaif, sedang jumhur mantap bahwa riwayat (asli) adalah Jazem. Nabi Saw. besabda, “Kalian tidak akan beriman (secara sempurna) sehingga kalian saling mengasihi.” Para sahabat berkata, “Kami semua orang yang pengasih!” Beliau bersabda, “Sungguh bukanlah seperti kasih sayang salah seorang kalian kepada temannya, tetapi kasih sayang itu adalah kasih sayang kepada orang banyak.” H.R. Thabarani. Karena itulah Rasulullah Saw. menganjurkan agar Salam disebarkan luaskan di antara sesama muslim dengan sabda Beliau, “Demi Dzat yang diriku berada dalam genggamanNya, kalian tidak masuk surga sehingga kalian beriman. Kalian tidak beriman sehingga kalian saling mencintai. Apakah kalian aku tunjukkan sesuatu yang apabila kalian lakukan maka kalian akan saling mencintai? Sebar luaskanlah salam di antara kalian.” H.R. Muslim, agar ia (salam) menjadi pembuka hati untuk mencintai dan saling bertemu dalam kebaikan guna mencari kecintaan dan keridhaan Allah dengan jiwa yang pemurah, hati yang bersih dan kasih sayang kepada umat.
Posted by m-anwar-z at 3:27 AM 0 comments

Tuesday, September 18, 2007
Puasa, Terapi Lemahnya Irodah dan Maksimalisasi Mauhibah
Alloh tabaroka wata’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.(yaitu) dalam beberapa hari yagn tertentu…” (Q.S. al Baqarah: 183-184).

Firman Alloh (…sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian), di sini ada tiga tujuan yang terkandung dalam ungkapan menyerupakan/tasybih (…sebagaimana…):

1. Memperhatikan serius (ihtimam) ibadah ini (puasa) karena keberadaannya yang telah disyariatkan Alloh sejak sebelum umat ini di mana hal tersebut memunculkan konsekwensi dilaksanakannya ibadah ini dengan baik, kesempurnaan pahalanya dan membangkitkan semangat umat ini untuk menyambutnya supaya ibadah ini tidak hanya menjadi keistimewaan umat-umat terdahulu. Alloh berfirman: “…dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba” (Q.S. al Muthofifin: 26).
2. Memberikan kemudahan (tahwiin) ibadah ini kepada orang-orang mukallaf (al mukallafin) agar mereka tidak merasa berat. Makna ini dikuatkan (tersiratkan) dalam firmanNya “…dalam beberapa hari tertentu.”
3. Mengobarkan semangat dan tekad bulat (azimah-azaim) untuk melakukan ibadah ini sehingga mereka tidak teledor menerimanya, tetapi sebaliknya mengambil ibadah ini dengan kekuatan melebihi apa yang telah dilakukan oleh umat-umat terdahulu.

Di sini ada sebuah contoh metode/uslub Alquran al Karim dalam memberikan terapi terhadap lemah irodah (yang menjangkiti) seorang muslim. Sebab sesungguhnya seorang muslim yang terbina semestinya mampu menghasilkan sebuah karya nyata sesuai bakat alamiah yang diberikan Alloh (mauhibah) dengan catatan mauhibah itu ia wujudkan dengan ikhlas, bersungguh-sungguh dan konsisten dalam rangka mendekat dan mencari ridho Alloh dengan satu keyakinan seperti difirmankan olehNya, “Dzat yang Menciptakan, dan menyempurnakan (penciptaanNya, Dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk.” Q.S. al A’laa: 2-3.

Terkait dengan ini, Sayyidina Ali ra mengatakan: “Nilai diri seseorang adalah profesionalitas yang ia miliki.” Maka nilai diri orang berilmu adalah ilmunya, sedikit atau banyak ilmu itu. Nilai diri seorang penyair adalah syairnyam baik atau jelek syair itu. Jadi nilai diri semua orang adalah Mauhibah atau aktivitas rutin (hirfah) yang ia miliki, bukan yang lain. Karena itulah seorang muslim hendaknya bersemangat kuat meninggikan nilainya dan menjadikan mahal harga dirinya dengan amal saleh serta tidak usah merasa resah betapun ia sedikit harta atau dalam keadaan susah (secara ekonomi).

Kegagalan manusia dalam menghasilkan sebuah karya nyata disebabkan oleh lemah kemauan (Dhu’ful Irodah) dan banyak mengeluh. Karena itu Alloh berfirman, “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan sholat dengan rutin (Daaimun). Q.S. al Ma’arij: 19-22. Alloh berfirman, “…dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Alloh. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Alloh, melainkan kaum yang kafir.” Q.S. Yusuf: 87 dan dikatakan, “Jika menyangka kemuliaan adalah kurma yang hanya kamu rasakan lezat memakannya. Kamu tidak sampai pada kemuliaan sehingga (terlebih dahulu) menjilat buah Jadam.(*)
Posted by m-anwar-z at 3:25 AM 0 comments
Tausiah Abina IKHYA'ULUMUDDIN

Monday, February 04, 2008
Maha Suci Dzat yang Ketaatan Hamba-Nya Tidak Memberikan Manfaat kepada-Nya
Dari Abu Dzarr al-Ghifari r.a. dari Nabi Saw. bahwa Allah Azza wajalla berfirman, “Wahai hambaKu, andai seluruh orang pertama dan terakhir kalian, manusia dan jin kalian menjadi seperti paling bertakwa hatinya seorang lelaki di antara kalian maka hal itu tidak menambah sedikitpun kekuasaanKu. Wahai para hambaKu, andai seluruh orang pertama dan terakhir kalian, manusia dan jin kalian menjadi seperti paling jeleknya hati seorang lelaki di antara kalian maka hal itu tidak mengurangi sedikitpun kekuasaanKu…” H.R. Muslim. Lihat Hadits Arbain nomor 24. Sedang ibadah yang karenanya manusia diciptakan, pertama, standar untuk mengetahui kadar syukur dan kufurnya. Allah berfirman, “Ini adalah termasuk anugerah Tuhanku agar dia menguji apakah aku bersyukur ataukah kufur. Dan barangsiapa yang bersyukur maka itu untuk dirinya sendiri dan barang siapa kufur maka sesungguhnya Allah Maha Kaya Maha Mulia.” (Q.S. an-Nahl: 40). Kedua, hubungan (shilah) antara dirinya dengan Tuhannya dalam rangka mendekat kepada-Nya. Ketiga, sebagai tanda ketaatan dan sebagai, keempat, sarana (wasilah) mendapatkan cinta-Nya. Nabi Saw. bersabda, “HambaKu tidak berusaha mendekat kepadaKu dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada sesuatu yang telah Aku wajibkan kepadanya. Dan hambaKu selalu berusaha mendekat kepadaKu dengan amal-amal sunnah sehingga Aku mencintainya…” (H.R. al-Bukhari).

Kecintaan Allah kepada hamba-Nya adalah kehendak baik-Nya untuk hamba tersebut, kata Imam Nawawi. Dia mencintai hamba-Nya maka Dia menyibukkannya dengan berdzikir kepada-Nya. Dia menjaganya dari setan dan memfungsikan anggota tubuhnya dengan ketaatan. Hal ini menjadikan hamba tersebut menjaga pandangannya dari hal-hal haram. Ia tidak melihat sesuatu yang tidak halal baginya. Pandangannya adalah pandangan berfikir dan mengambil pelajaran. Ia tidak melihat sesuatu dari ciptaan-ciptaan kecuali menjadikannya sebagai dalil akan wujud Sang Pencipta. Ali r.a. berkata, “Aku tidak melihat sesuatu apapun kecuali aku melihat Allah sebelumnya.”

Makna mengambil pelajaran (I’tibar) adalah membawa fikiran kepada kesimpulan akan kekuasaan Allah hingga manusia harus bertasbih, memuji Allah, bertahlil, mensucikan dan mengagungkan Allah. Dengan demikian menjadilah seluruh gerak dan aktivitasnya secara keseluruhan karena Allah:

1.Ia tidak berjalan kecuali dalam hal yang berfaedah baginya.

2.Tangannya tidak berbuat sesuatu yang sia-sia. Sebaliknya, seluruh gerak dan diamnya adalah karena Allah sehingga seluruh yang dilakukannya menjadi bernilai pahala.

3.Ia tidak menganggap remeh sedikit kebaikan, karena tekadnya adlaah mencari ridha Allah yang tidak ada pilihan baginya kecuali harus bersemangat, ikhlas dan serius (jujur) sebab penerimaan Allah yang menjadikan hal kecil menjadi besar, hal sedikit menjadi banyak dan yang belakangan menjadi terdepan adalah tergantung keseriusan (kejujuran) bersama Allah (itulah anugerah dari Allah dan cukuplah Allah sebagai Dzat Maha Mengetahui). (Q.S. an-Nisa’:70). Bukan mencari ridha manusia, bahkan dalam suatu saat terpaksa harus menjadikan marah manusia di jalan mencari ridha Allah. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw., “Barang siapa mencari ridha Allah dengan kemarahan manusia maka Allah pasti mencukupinya dari ketergantungan kepada manusia. Barang siapa yang mencari ridha manusia dengan kemarahan Allah maka Allah menjadikannya bergantung kepada manusia.” (H.R. Turmudzi, Qudhai dan Ibnu Asakir dengan sanad Hasan).

4.Ia tidak tertipu oleh amal yang telah dilakukan sesuai dengan bisikan doanya, “Ya Allah, tidak akan ada orang yang bisa menolak apa yang Engkau tolak. Dan usaha kuat orang yang giat (beribadah) di sisi-Mu, tidak memberikan manfaat”, tetapi ia senantiasa berharap anugerah dan rahmat-Nya dan bergembira karena itu. Allah berfirman, “Katakanlah; Dengan anugerah dan rahmat Allah maka karena itulah hendaknya mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka usahakan.” Q.S. Yunus: 58.

No comments: